Assalamu’alaikum,,,,
Sekarang saya akan memaparkan sedikit
tentang hokum dari wanita mengikuti sholat Jum’at bahkan pernah ada seorang
wanita yang bernama Amina Wadud. Wanita ini adalah wanita
liberal yang menciptakan sensasi pada 2005 dengan menjadi imam shalat Jum’at di
gereja Katedral di AS. Yang nyeleneh lagi,
makmum yang ikut-ikutan shalat di belakangnya tidak hanya kaum perempuan, tapi
banyak juga yang laki-laki. Tentu saja ibadah shalat dengan makmum campur-aduk
alias gado-gado ini menimbulkan kecaman dunia Islam.
Dibawah ini alasannya
jawaban dari hukum dari wanita mengikuti sholat Jum’at yang diambil dari
berbagai refrensi:
Dalil Shalat Jum’at
Perintah untuk melaksanakan shalat Jum’at ini terdapat dalam
al-Qur’ân surat al-Jumu’ah [62]: 9, Allâh berfirman,
“9. Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli.[2] yang demikian itu
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS al-Jumu’ah [62]: 9)
Dalam hadits disebutkan, Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Shalat Jum’at itu adalah fardhu bagi setiap orang
Muslim kecuali 4, yaitu orang sakit, hamba sahaya, orang musafir dan wanita.”
(HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain juga di sebutkan, hadits dari Thariq bin Syihab
dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
عَنْ طَارِقِ بْنِ
شِهَابٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْجُمُعَةُ حَقٌّ
وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ
أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ قَالَ أَبُو دَاوُد طَارِقُ بْنُ
شِهَابٍ قَدْ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَسْمَعْ
مِنْهُ شَيْئًا.رواه أبو داود
Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda, “Jum’at itu wajib atas setiap Muslim
dengan berjama’ah, kecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan,
anak-anak dan orang sakit.” Abu Daud berkata, “Thariq bin
Syihab benar-benar melihat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, namun belum
pernah mendengar sesuatu pun dari beliau.” (HR Abu Dawud, No. 1067)[3]
Tidak wajibnya shalat jum’at bagi beberapa orang yang telah
disebutkan hadits di atas, kalau dilihat lebih jauh ada dalil yang
mendukung tidak wajibnya shalat Jum’at bagi perempuan adalah hadits Rasûlullâh shallallâhu
‘alaihi wa Sallam yang menunjukkan keutamaan shalat di rumah bagi
perempuan dibanding shalatnya di masjid (yang artinya), “Shalatnya salah
seorang dari kalian di makhda’nya (kamar khusus yang dipergunakan untuk
menyimpan barang berharga) lebih utama daripada shalatnya di kamarnya. Dan
shalat di kamarnya lebih utama daripada shalatnya di rumahnya. Dan shalatnya di
rumahnya lebih utama daripada shalat di masjid kaumnya. Dan shalat di masjid
kaumnya lebih utama daripada shalatnya bersamaku.” (HR Ahmad, Ibnu
Khuzaimah, dan Ibnu Hibban)[4]
Berdasarkan dalil hukum di atas, shalat Jum’at wajib bagi
laki-laki yang sudah baligh dan berakal kecuali
ada hal yang menghalanginya untuk menjalankan shalat Jum’at di masjid. Hukum
shalat Jum’at bagi perempuan kalau kita merujuk pada dalil tersebut di atas
tidaklah wajib.
Dalam majalah Swara Qur’an[5] dipaparkan yang intinya
shalat Jum’at bagi perempuan tidak wajib dengan dua alasan:
Pertama, hadits dari Thariq bin Syihab dari Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat Jum’at itu wajib bagi setiap
Muslim dengan berjama’ah kecuali untuk jenis orang. Mereka adalah budak,
wanita, anak kecil, dan orang yang sedang sakit.” (HR Abu Dawud)
Kedua, kesepakatan para ulama. Ulama bersepakat bahwa shalat
Jum’at bagi perempuan tidak wajib. Ibnu Khuzaimah berkata dalam shahihnya
3/112, “Kesepakatan para ulama mengenai tidak wajibnya shalat Jum’at bagi
wanita sudah cukup menjadi dalil tanpa menukil hadits khusus mengenai hal
tersebut”.
Berdasarkan dua dalil di atas, jelas kiranya bahwa shalat Jum’at
tidak wajib bagi perempuan. Sedangkan surat al-Jumu’ah [62]: 9 tidak
bertentangan dengan hadits, karena ayat ini bersifat umum, sedangkan sudah
terdapat hadits shahih yang mengkhususkan dan mengecualikannya. Padahal dalil
yang bersifat khusus lebih didahulukan dari pada dalil yang bersifat umum.
Namun apabila seorang perempuan telah mengerjakan shalat Jum’at
bersama Imam (di masjid) maka shalatnya sah dan tidak perlu lagi mengerjakan
shalat Zhuhur. Demikian yang disepakati para ulama sebagaimana disebutkan Imam
al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syahr al-Muhadzdzab (4/495).[6]
Apa Kata Ulama
Al-Khathabi dalam Ma’allim al-Sunnah, 1/644 berkata, “Para
ahli fiqih bersepakat bahwa kaum perempuan tidak wajib menghadiri shalat
Jum’at.” Dalam al-Mughni 2/338 Ibnu Qudamah menyatakan, “Mengenai perempuan
tidak ada perbedaan pendapat bahwa shalat Jum’at tidak wajib bagi perempuan.”
Dalam Jami’ al-Ahkam al-Nisâ V/105, Syaikh
Musthafa al-Adawi mengatakan, “Menghadiri shalat Jum’at bagi kaum perempuan
tidak wajib. Para ulama pun sudah menyepakati hal ini. Seluruh pendapat mereka
sama tentang hal ini. Bahkan terdapat beberapa hadits yang menunjukkan bahwa
shalat Jum’at tidak wajib bagi mereka.”
Akan tetapi terdapat pembicaraan tentang kedhaifan hadits-hadits
tersebut. Meskipun demikian, komentar yang tepat tentang hal ini, sebagaimana
perkataan Ibnu Khuzaimah, “Dalil bahwasannya Allâh memerintahkan shalat
Jum’at ketika terdengar adzan sebagaimana firman Allâh dalam surat al-Jum’ah [62]:
9, hanya khusus untuk laki-laki, bukan untuk perempuan adalah hadits, andai
hadits tersebut shahih secara sanad. Andai hadits tersebut tidak shahih maka
kesepakatan para ulama tentang tidak wajibnya shalat Jum’at bagi perempuan
sudah mencukupi untuk menjadi dalil tanpa menukil hadits khusus mengenai hal
tersebut.”
Lajnah Daimah (komite ulama saudi) mengatakan, “Shalat Jum’at
bagi perempuan tidak wajib, akan tetapi jika ada seorang perempuan yang turut
mengikuti shalat Jum’at, maka shalat perempuan tersebut sah. Jika perempuan
tersebut memilih shalat di rumahnya maka dia harus melaksanakan shalat Zhuhur
sebanyak empat rakaat dan dilakukan sesudah tibanya waktu shalat Zhuhur, yaitu
sesudah matahari condong kebarat. Perempuan tersebut tidak boleh melaksanakan
shalat Jum’at di dalam rumahnya.”[7]
Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Mushannaf 3/146
No.5105 dengan sanad yang shahih dari Ibnu Juraij. Ibnu Juraij menceritakan
kalau beliau bertanya kepada Atha’, “Bagaimana pendapat anda bila perempuan
keluar dari rumahnya disiang hari lalu mendengar adzan shalat Jum’at, bolehkah
dia turut menghadiri shalat Jum’at?”
“Bila dia ingin menghadirinya maka tidak apa-apa, dan bila
tidak menghadirinya juga tidak apa-apa.” Demikian jawaban Atha’
Ibnu Juraij bertanya lagi, “Bagaimana dengan firman Allâh yang
terdapat pada surat al-Jumu’ah [62]: 9, bukankah ayat ini mencakup perempuan
dan laki-laki? Dengan tegas Atha’ menjawab, “Tidak”.
Dalam al-Majmu’ 4/495 Imam Nawawi mengatakan, “Telah kami
sampaikan di muka bahwa orang-orang yang tidak wajib melaksanakan shalat Jum’at
seperti budak, perempuan, musafir dan sebagainya berkewajiban melaksanakan
shalat Zhuhur. Bila mereka tidak melaksanakan shalat Zhuhur dan memilih shalat
Jum’at maka hal tersebut sudah mencukupi berdasarkan kesepakatan ulama
sebagaimana yang dinukil Ibnu Mundzir, Imam Haramain dan lain sebagainya.”
Dalam al-Mughni 2/341 Ibnu Qudamah berkata, “Para
ulama yang saya ketahui semuanya bersepakat bahwa shalat Jum’at tidak wajib
bagi perempuan. Mereka juga bersepakat bila perempuan turut menghadiri shalat
Jum’at maka itu sudah mencukupi untuk mereka. Gugurnya kewajiban shalat Jum’at
bagi mereka adalah untuk memberikan keringanan, sehingga bila mereka tidak
mengambil keringanan tersebut maka hukumnya boleh seperti halnya orang yang
sakit.”
Syaikh Musthafa al-Adawi mengatakan, “Jika seorang
perempuan turut melaksanakan shalat Jum’at bersama kaum laki-laki maka hal tersebut
sudah mencukupi sehingga tidak perlu lagi melaksanakan shalat Zhuhur, bahkan
juga terdapat kesepakatan ulama dalam hal ini.”[8]
Lajnah Daimah juga menegaskan,” Jika seorang perempuan
turut melaksanakan shalat Jum’at di masjid maka itu sudah mencukupinya,
sehingga tidak perlu lagi shalat Zhuhur. Bahkan perempuan tersebut tidak boleh
melaksanakan shalat Zhuhur pada hari itu. Namun jika dia shalat sendirian maka
perempuan tersebut tidak memiliki hak kecuali melaksanakan shalat Zhuhur dan
tidak boleh melakasanakan shalat Jum’at.”[9]
Qatadah mengatakan, “Apabila perempuan ikut menghadiri
pelaksanaan shalat Jum’at maka wanita tersebut melaksanakan shalat sebanyak 2
rakaat.”[10]
Hasan al-Bashri berkata, “Seorang perempuan yang turut
menghadiri shalat Jum’at maka dia shalat mengikuti imam dan hal tersebut
sudah mencukupinya.[11] Dahulu para
perempuan muhajirin melaksanakan shalat Jum’at bersama Rasûlullâh shallallâhu
‘alaihi wa sallam dan mereka merasa cukup dengannya tanpa Zhuhur lagi.”[12]
Bagi perempuan yang tidak melaksanakan shalat Jum’at di masjid
berkewajiban melaksanakan shalat Zhuhur. Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu
Mas’ud, “Barangsiapa yang tertinggal shalat Jum’at maka hendaklah shalat
Zhuhur 4 rakaat.”[13] Bahkan Ibnu Mas’ud
mengatakan, “Apabila kalian para perempuan shalat Jum’at bersama imam masjid
maka kerjakanlah shalat sebagaimana imam tersebut, akan tetapi bila kalian
melaksanakan shalat di rumah maka shalatlah sebanyak 4 rakaat.”[14]
Dalam Subulus Salam, Imam Shan’ani menegaskan, bahwa
pada dasarnya shalat yang ada pada hari Jum’at adalah shalat Zhuhur sehingga
orang yang tertinggal atau tidak melaksanakan shalat Jum’at maka berkewajiban
melaksanakan shalat Zhuhur berdasarkan kesepakatan ulama.[15]
Fatwa MUI Tentang Perempuan Menjadi Imam Shalat.
Dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII, pada 19-22 Jumadil
Akhir 1426 H/26-29 Juli 2005 M, MUI menetapkan Fatwa Nomor: 9/MUNAS
VII/MUI/13/2005 Tentang Wanita Menjadi Imam Shalat.
Menurut MUI, perlu dilakukan untuk memberikan kepastian hukum
dalam syari’at Islam tentang hukum perempuan menjadi imam shalat, agar dapat
dijadikan pedoman bagi umat Islam.
MUI mendasarkan fatwanya pada Kitabullâh, sunnah Rasûlullâh shallallâhu
‘alaihi wa sallam, ijma’ ulama, dan qaidah-qaidah fiqh. Firman Allâh Subhânhu
wa Ta’âlâ antara lain, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi
kaum perempuan oleh karena Allâh telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki)
atas sebahagian yang lain (perempuan)…” (QS al-Nisâ’ [4]: 34)
Sedangkan hadits-hadits Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
antara lain, ” Rasûlullâh memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam
bagi penghuni rumahnya.” (HR Abû Dâwud dan al-Hakîm).
Rasûlullâh bersabda, “Janganlah seorang perempuan menjadi imam
bagi laki-laki.” (HR Ibnu Majah)
Rasûlullâh bersabda, “Shaf (barisan dalam shalat berjamaah)
terbaik untuk laki-laki adalah shaf pertama (depan) dan shaf terburuk bagi
mereka adalah shaf terakhir (belakang); sedangkan shaf terbaik untuk perempuan
adalah shaf terakhir (belakang) dan shaf terburuk bagi mereka adalah shaf
pertama (depan).”
Rasûlullâh bersabda, “Shalat dapat terganggu oleh perempuan,
anjing dan himar (keledai).” (HR Muslim)
Rasûlullâh bersabda, “(Melaksanakan) shalat yang paling
baik bagi perempuan adalah di dalam kamar rumahnya.” (HR Bukhari)
Adapun berdasarkan ijma’ sahabat, di kalangan mereka tidak pernah
ada perempuan yang menjadi imam shalat di mana di antara makmumnya adalah
laki-laki. MUI mengutip kitab Tuhfah Al-Ahwazi karya
al-Mubarakfuri, “Para sahabat juga berijma’ bahwa perempuan boleh menjadi imam
shalat berjamaah yang makmumnya hanya wanita, seperti yang dilakukan oleh
Aisyah dan Ummu Salamah.
Dan berdasarkan qaidah fiqh, “Hukum asal dalam masalah ibadah
adalah tauqif dan ittiba’ (mengikuti petunjuk
dan contoh dari Nabi).”
Selain itu, MUI juga memerhatikan pendapat para ulama seperti
termaktub dalam kitab Al-Umm (Imam Syafi’i), Al-Majmu’
Syarah Al-Muhazzab (Imam Nawawi), dan Al-Mughni (Ibnu
Qudamah).
Berdasarkan telaah kitab-kitab tersebut, dan kenyataan bahwa
sepanjang masa sejak zaman Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
tidak diketahui adanya shalat jamaah di mana imamnya perempuan dan makmumnya
laki-laki. Oleh sebab itu, Sidang Komisi C Bidang Fatwa MUI memutuskan fatwa.
“Dengan bertawakkal kepada Allâh Subhânhu wa Ta’âlâ, MUI
memutuskan bahwa perempuan menjadi imam shalat berjamaah yang di antara
makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak
sah. Adapun perempuan yang menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya
wanita, hukumnya mubah.“
Fatwa ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Jumadil Akhir 1426
H yang bertepatan dengan 28 Juli 2005 M, dan ditandatangani oleh Ketua MUI KH
Ma’ruf Amin dan Sekretaris Hasanuddin.[16]
Ikhtitâm
Dari uraian singkat di atas dapat kita simpulkan bersama bahwa,
pelaksanaan shalat jumat bagi kaum perempuan diperbolehkan, namun hukumnya
tidaklah wajib. Hal itu dikarenakan banyaknya kaum perempuan yang melaksanakan
shalat Jumat di masa Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam, yang
pada saat itu Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak
melarangnya.
Perintah shalat Jumat dalam al-Qur’ân dan Hadits oleh para
penafsir hanya diperuntukkan atau diwajibkan bagi kaum pria semata, sehingga
shalat jumat bagi kaum wanita hukumnya tidak diwajibkan, melainkan hanya
diperbolehkan. Bagi yang sudah menjalan shalat Jum’at tidak ada kewajiban untuk
shalat Zhuhur.
Terkait tentang perempuan menjadi imam shalat telah jelas sebagaimana
fatwa MUI memutuskan bahwa perempuan menjadi imam shalat berjamaah yang di
antara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak
sah. Adapun perempuan yang menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya
wanita, hukumnya mubah. Wa Allâhu a’lam bi al-Shawwâb.[]
Marâji’
Nashiruddin Al-Bani dalam Irwaul Ghalil, No. 592
Nashiruddin Al-Albani dalam Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah
Fatwa al-Mar’ah al-Muslimah, Dâr Ibnu al-Haitsam 112
Majalah Asy-Syariah hlm 75 Vol I/No.04/Syawwal 1424 H/ Desember
2003
Shahih Sunan Abû Dawud, versi digital, kompilasi Chm oleh Yoga
Permana
Jâmi’ al-Ahkâm al-Nisâ V/105
Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, Dâr Ibnu Haitsam 112
Abdurrozaq dalam al-Mushannaf 3/191, No. 5275
al-Ajwibah al-Nafi’ah, karya Nashiruddin al-Bani
Mu’jam Kabîr dengan sanad yang shahih
www.mui.or.id
www.republika.co.id
* Penulis adalah staf
Pengembangan dan Pengkaijan Keislaman Direktorat Pendidikan dan Pengembangan
Agama Islam (PPK DPPAI UII).
[1] Pernah dimuat di
www.republika.co.id
[2] Maksudnya apabila imam
telah naik mimbar dan Muadzin telah adzan di hari Jum’at, maka kaum muslimin
wajib bersegera memenuhi panggilan Muadzin itu dan meninggalakan semua
pekerjaannya.
[3] Shahih Sunan Abû Dawud,
versi digital, kompilasi Chm oleh Yoga Permana (kampungsunnah.org), hadits no.
215/1067, hadits ini dishahihkan oleh Nashiruddin Al-Bani dalam Irwaul Ghalil,
No. 592
[4] Hadits ini diriwayatkan
oleh Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya dan
dihasankan oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani dalam Jilbab al-Mar’ah
al-Muslimah, hlm. 115
[5] Majalah Swara Qur’an,
Edisi No. 11 Tahun ke-4/ Rabiul Awal 1425/ Mei 2005
[6] Majalah Asy-Syariah hlm
75 Vol I/No.04/Syawwal 1424 H/ Desember 2003
[7] Fatwa al-Mar’ah
al-Muslimah, Dâr Ibnu al-Haitsam 112
[8] Jâmi’ al-Ahkâm
al-Nisâ V/105
[9] Fatawa al-Mar’ah
al-Muslimah, Dâr Ibnu Haitsam 112
[10] Diriwayatkan oleh
Abdurrozaq dalam al-Mushannaf 3/191, No. 5275
[11] Diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 2/110 dengan sanad yang shahih.
[12] Lihat al-Ajwibah
al-Nafi’ah, karya Nashiruddin al-Bani, hlm 48
[13] Diriwayatkan Ibnu Abi
Syaibah dan Thabrani dalam Mu’jam Kabîr dengan sanad yang shahih sebagaimana
dalam al-Ajwibah al-Nafi’ah, karya Nashiruddin al-Bani, hlm 47
[14] Diriwayatkan Ibnu Abi
Syaibah 1/207/2
[15] Kajian pada sub
pembahasan ‘Apa Kata Ulama’ diambil dari Majalah Swara Qur’an (dengan sedikit
perubahan), Edisi No. 11 Tahun ke-4/ Rabiul Awal 1425/ Mei 2005, hlm. 45-47
[16] Lihat di www.mui.or.id
Finding Help with Medical Assignment is not easy unless one is keen to establish the best medical research paper writing service company by going through their medical assignment writers qualifications.
ReplyDeleteBusiness information systems research paper services have become very popular for students studying business & information technology coursework as they engage the best online Information Systems Writing Services.
ReplyDelete