SYARAT-SYARAT SHALAT

SYARAT-SYARAT SHALAT

SYARAT-SYARAT SHALAT

Thursday, April 18, 2013

SYARAT-SYARAT SHALAT

Filled under:
Print Friendly and PDF Translate

1. Pada sebagian wilayah terdapat siang atau malam yang berlalu dalam waktu sangat lama, ada juga yang berlalu sangat singkat sekali sehingga tidak cukup waktu untuk melakukan shalat lima waktu, bagaimana penduduk wilayah tersebut melakukan shalatnya ?

   Jawab: Merupakan kewajiban bagi penduduk suatu daerah yang siang atau malamnya sangat panjang untuk melakukan shalat lima waktu berdasarkan perkiraan, jika disana tidak terdapat tergelincir atau terbenamnya matahari dalam jangka waktu dua puluh empat jam. Terdapat riwayat yang shahih dari Rasulullah r berdasarkan hadits Nawwas bin Sam’an dalam shahih Muslim tentang hari pada saat datangnya Dajjal yang digambarkan bagaikan setahun, sahabat bertanya kepada Rasulullah r tentang hal tersebut, maka beliau bersabda: “Perkirakanlah ukuran (waktunya)” demikian pula dengan hari yang keduanya, yaitu sehari bagaikan sebulan. Demikian pula yang seharinya bagaikan seminggu. Adapun wilayah yang siangnya sangat pendek atau siangnya sangat panjang atau sebaliknya maka hukumnya jelas, yaitu mereka shalat sebagaimana pada hari-hari umumnya meskipun siang atau malamnya sangat pendek berdasarkan umumnya dalil.

   2. Sebagian orang ada yang  shalat fardhu dalam keadaan terbuka kedua bahunya, khususnya pada saat pelaksanaan ibadah haji, yaitu saat mengenakan pakaian  ihram. Apakah hukumnya?
    jawab: jika dia tidak mampu menghindarinya, maka tidak  mengapa baginya hal yang demikian itu berdasarkan firman Allah ta’ala:
      
 Bertakwalah kalian semampu kalian”(At-Taghabun 16 )
Dan juga berdasarkan hadits Rasulullah r, dari Jabir bin Abdullah y :
(( إِنْ كَانَ الثَّوْبُ وَاسِعاً فَالْتَحِفْ بِهِ وَإِنْ كَانَ ضَيِّقاً فَأتَّزِرْ بِهِ )) متفق عليه.
“Jika bajunya lebar maka berselimutlah dengannya dan jika bajunya sempit maka jadikanlah sebagai kain sarung”(Muttafaq Alaih)
Adapun jika dia mampu untuk menutup kedua bahunya atau salah satu diantara keduanya, maka wajib baginya untuk menutup keduanya atau salah satu diantara keduanya menurut salah satu pendapat ulama yang lebih kuat, jika hal tersebut dia abaikan maka shalatnya tidak sah, berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( لاَ يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِيْ الثَّوْبِ الوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقِهِ مِنْهُ شَيْءٌ )) متفق عليه.
“Janganlah salah seorang diantara kalian shalat dengan mengenakan satu baju yang tidak terdapat diatas bahunya sesuatu apapun “ (Muttafaq alaih)
3. Sebagian orang ada yang terlambat shalat Fajar (Shubuh) hingga waktu Isfar (mendekati terbitnya matahari) dengan alasan bahwa hal tersebut berdasarkan hadits:
أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلأَجْرِ
“Lakukanlah (shalat) Fajar pada saat mendekati terbitnya matahari, karena sesungguhnya hal tersebut sangat besar pahalanya "Apakah hadits tersebut shahih? dan bagaimana menggabungkannya  dengan hadits: “(Amal yang paling utama  adalah  shalat pada waktunya) “?
Jawab: Hadits yang disebutkan adalah hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ahlussunan dengan sanad yang shahih dari Rafi’ bin Khudaij t, dan hal tersebut tidak bertentangan dengan hadits shahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah r shalat Shubuh pada saat hari masih gelap, begitu juga tidak bertentangan dengan hadits “(amal yang paling utama adalah) shalat pada waktunya” , akan tetapi makna yang dimaksud menurut jumhur ulama adalah, menunda shalat fajar sampai jelas datangnya waktu fajar, kemudian dilaksanakan sebelum hilangnya kegelapan sebagaimana dahulu Rasulullah r melakukannya, cuma saja saat di Muzdalifah (saat melaksanakan ibadah haji) diutamakan untuk melakukannya lebih cepat, yaitu saat terbitnya fajar, sebagaimana perbuatan Rasulullah r  pada saat haji Wada’.
Dengan demikian hadits-hadits yang shahih tersebut dapat digabungkan tentang saat pelaksanakan shalat Fajar, akan tetapi semua itu hanyalah masalah keutamaan (afdhaliah).
Dan boleh mengakhirkan shalat shubuh sampai sesaat sebelum terbitnya matahari, sebagaiman hadits Rasulullah r:
(( وَقْتُ الْفَجْرِ مِنْ طُلُوْعِ الْفَجْرِ مَالَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ ))
“Waktu (shalat) Fajar adalah sejak terbitnya fajar selama belum terbitnya matahari" (Riwayat Muslim dalam shahihnya dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash).
4. Kami menyaksikan sebagian orang ada yang memendekkan bajunya (gamisnya) dan memanjangkan celananya, bagaimanakah pendapat syaikh?
Jawab: Berdasarkan sunnah maka hendaknya (ujung) pakaian yang dikenakan antara setengah betisnya hingga mata kakinya dan tidak boleh menurunkannya hingga kebawah mata kaki, berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ اْلإِزَارِ فَهُوَ فِي النَّارِ ))
“Pakaian yang (menjulur) ke bawah mata kaki, maka dia berada dalam neraka" (Riwayat Bukhari dalam As-Shahih)
Tidak ada bedanya antara celana dan kain, kemeja dan gamis, Rasulullah r menyebutkan kain (إزار) dalam hadits tersebut sebagai perumpamaan saja bukan sebagai pengkhususan, yang utama hendaknya pakaian yang dikenakan hanya sampai setengah betisnya, berdasarkan hadits Rasulullah r :

(( إِزَارَةُ الْمُؤْمِنِ نِصْفُ سَاقِهِ ))

“Pakaian seorang mu’min adalah (sampai) setengah betisnya"
5. Apakah hukumnya jika diketahui kemudian bahwa shalat yang dilakukannya tidak menghadap kiblat setelah dia berijtihad? Apakah ada bedanya antara jika hal tersebut terjadi di negri kafir dan negri muslim atau di tengah padang pasir?
Jawab: Jika seorang berada dalam sebuah perjalanan atau berada di tempat yang tidak mudah baginya untuk mengetahui arah kiblat maka shalatnya sah, jika dia telah berijtihad untuk menetapkan arah kiblat, dan ternyata setelah itu tidak menghadap kearah kiblat.
Adapun jika dia berada di negri muslim, maka shalatnya tidak sah, karena memungkinkan baginya untuk bertanya siapa saja yang dapat menunjukinya arah kiblat, sebagaimana mungkin baginya untuk mengetahuinya dengan melihat masjid.
6. Kami mendengar banyak orang yang melafazkan (mengucapkan) niat saat hendak shalat, apa hukumnya? apakah perbuatan tersebut ada landasan syar’inya?
Jawab: Tidak terdapat dalil dalam syariat tentang mengucapkan niat, tidak juga terdapat riwayat dari Nabi r dan dari para shahabat bahwa mereka mengucapkan niat saat hendak shalat. Tempat niat hanyalah di hati, berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ باِلنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ))
“Sesungguhnya setiap amalan berdasarkan   niatnya,   dan   bagi   setiap   orang (dibalas sesuai) apa yang dia niatkan“(Muttafaq alaih, dari hadits Amirul Mukminin Umar bin Khattab t ).
7. Kami menyaksikan sebagian orang yang berdesak-desakan di Hijir Ismail agar dapat shalat didalamnya, apa hukum melakukan shalat didalamnya? apakah terdapat keistimewaan pada perbuatan tersebut?
Jawab: Shalat di Hijir Ismail termasuk sunnah, karena dia bagian dari Ka’bah, dan terdapat riwayat shahih dari Nabi r, bahwa beliau masuk kedalam Ka’bah pada saat terjadinya Fathu Makkah dan shalat didalamnya dua raka’at” (Muttafaq alaih ).
Juga terdapat riwayat dari Rasulullah r bahwa dia berkata kepada Aisyah radhialluanha, saat hendak memasuki Ka’bah “Shalatlah dalam Hijir (Ismail), karena dia termasuk Ka’bah ".
Adapun tentang pelaksanaan shalat fardhu, maka sebagai tindakan yang lebih hati-hati (ihtiyath) tidak dilaksanakan didalam Ka’bah atau dalam Hijir Isma’il, karena Rasulullah r tidak melakukan hal tersebut, bahkan sebagian ulama ada yang berkata, perbuatan tersebut tidak sah karena dia termasuk Baitullah.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa pelaksanaan shalat fardhu hendaknya dilakukan di luar Ka’bah dan Hijir Ismail, sebagai tindakan mencontoh Rasulullah r dan keluar dari perbedaan pendapat para ulama yang mengatakannya tidak sah. Semoga Allah memberikan taufiq-Nya.
8. Sebagian wanita tidak dapat membedakan antara darah haidh dan istihadhah, sebab kadang-kadang darah tersebut keluar secara terus menerus, maka dia berhenti shalat selama keluarnya darah tersebut, bagaimanakah hukum yang demikian itu?
Jawab: Haidh adalah darah yang Allah tetapkan untuk kaum wanita setiap bulan pada umumnya, sebagaimana riwayat yang terdapat dalam hadits shahih.
Adapun bagi wanita yang mendapatkan istihadhah, ada tiga kondisi:
Pertama: Jika dia baru pertama kali mengalami hal tersebut, maka  hendaknya setiap bulan -selama darah itu ada- tidak melakukan shalat, puasa dan bersetubuh dengan suaminya sehingga datangnya masa suci, jika kondisi tersebut (keluarnya darah) berlangsung selama lima belas hari atau kurang menurut jumhur ulama.
Kedua: Jika keluarnya darah secara terus menerus lebih dari lima belas hari, maka hendaknya dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari dengan membandingkan wanita lain yang lebih mirip dengannya (usia atau fisiknya) dari kerabatnya jika dia tidak dapat membedakan antara darah haid atau yang lainnya, tetapi jika dia mampu membedakannya, maka dia tidak boleh shalat dan puasa serta bersetubuh dengan suaminya selama mendapati darah yang dapat dibedakannya karena warnanya yang hitam atau bau, dengan syarat, hal tersebut tidak berlangsung lebih dari lima belas hari.
Ketiga: Jika dia memiliki waktu haid tertentu, maka dia hitung masa haidnya selama waktu tersebut, dan setelah berakhir dia mandi dan berwudhu setiap kali masuk waktu shalat jika darahnya masih tetap keluar dan boleh bagi suaminya untuk menggaulinya sampai datang waktu haid berikutnya pada bulan kemudian.
Inilah ringkasan dari beberapa hadits nabi tentang wanita mustahadhah, dan telah diterangkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Bulughul Maram dan Ibnu Taimiyah rahimahumallah dalam kitab Al Muntaqa.

9. Jika seseorang tidak melakukan shalat pada waktunya -zuhur misalnya-, kemudian dia baru ingat saat  shalat Ashar sedang dilaksanakan, apakah dia ikut berjamaah dengan niat  Ashar atau dengan niat Zuhur? Atau shalat Zuhur sendirian dahulu kemudian shalat Ashar?
   Apakah maksudnya ucapan para fuqaha' “Jika dikhawatirkan shalat yang sedang ada waktunya tidak dapat dilakukan maka gugurlah urutannya” apakah kekhawatiran tidak mendapatkan jama’ah menggugurkan urutan shalat?
Jawab: Yang benar menurut syariat bagi orang yang mengalami hal tersebut, hendaknya dia shalat bersama jamaah dengan niat shalat Zuhur, kemudian setelah itu shalat Ashar, karena wajibnya menjaga urutan shalat (Zuhur didahulukan dari Ashar dan seterusnya), dan hal tersebut tidak gugur hanya karena khawatir tidak mendapatkan jamaah.
Adapun ucapan para fuqaha' -rahimahumullah- “jika dikhawatirkan keluarnya waktu shalat yang ada maka gugurlah urutannya” maksudnya adalah: Bagi orang  yang terlewat dari waktu shalat tertentu, maka (jika ingin mengqadanya), dia harus melakukannya sebelum melakukan shalat yang sedang ada waktunya, tetapi jika waktu shalat tersebut sempit maka shalat yang sedang ada waktunya tersebut dia dahulukan, misalnya: Seseorang belum melakukan shalat Isya, dan  dia baru ingat sesaat sebelum terbitnya matahari padahal saat itu dia belum shalat Shubuh, maka dia shalat Shubuh dahulu sebelum hilang waktunya, karena waktu tersebut telah ditetapkan untuk shalat Shubuh, setelah itu dia mengqadha shalatnya.
10. Banyak wanita yang menganggap remeh saat melakukan shalat, ada yang tampak pergelangan tangannya atau sedikit darinya, begitu juga dengan kakinya, bahkan kadang sebagian betisnya, apakah shalat seperti itu sah?
Jawab: Wajib bagi seorang  wanita merdeka dan baligh untuk menutup seluruh badannya dalam shalat, kecuali wajah dan telapak tangannya, sebab semua itu adalah aurat, jika seorang wanita shalat sementara ada yang tampak sedikit dari auratnya, seperti betisnya, kakinya atau sebagian kepalanya maka shalatnya tidak sah, berdasarkan hadits nabi r:

(( لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ ))

“Allah tidak menerima shalatnya wanita yang sudah haidh (baligh) kecuali dengan khimar (penutup kepala/jilbab)”(Riwayat Ahmad dan ahlussunan kecuali An-Nasai dengan sanad yang shahih). Yang dimaksud wanita yang sudah haidh (حائض) adalah wanita baligh.
Juga berdasarkan hadits Rasulullah r
(( الْـمَرْأَةُ عَوْرَةٌ ))
“Wanita adalah aurat "
Juga berdasarkan riwayat Abu Daud rahimahullahdari Ummu Salamah radhiyallahuanha, dari Rasulullah r, dia (Ummu Salamah) bertanya kepada Rasulullah r tentang wanita yang shalat dengan mengenakan baju dan kerudung tanpa mengenakan kain, maka beliau bersabda: “jika  bajunya lebar dan menutup kedua kakinya (maka shalatnya sah)”, Al Hafiz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Bulughul Maram, para imam menshahihkan mauqufnya hadits ini kepada Ummu Salamah. Jika terdapat orang yang bukan mahram didekatnya maka dia wajib juga menutup wajah dan kedua telapak tangannya.
11. Jika seorang wanita suci dari haidh pada waktu Ashar atau Isya, apakah dia juga harus shalat Zuhur (bersama shalat Ashar) dan shalat Maghrib (bersama shalat Isya), dengan dasar bahwa masing-masing shalat tersebut dapat dijama’?
Jawab:  Jika seorang wanita suci dari haidh atau nifas pada waktu Ashar maka dia wajib melakukan shalat Zuhur dan Ashar sekalian menurut pendapat yang paling shahih dari dua pendapat ulama, karena waktu kedua shalat tersebut pada saat ada halangan adalah satu seperti bagi musafir atau orang sakit dan si wanita tersebut ma’zur (berhalangan) karena belum datangnya masa suci, demikian juga jika dia suci pada  waktu Isya maka wajib baginya shalat maghrib dan Isya dengan jama’ sebagaimana yang terdahulu, dan untuk hal ini sejumlah sahabat y telah memfatwakannya.

12. Apa hukumnya shalat di masjid jika didalamnya terdapat kuburan atau di halamannya atau di kiblatnya?
Jawab: Jika didalam masjid terdapat kuburan, maka shalat didalamnya tidak sah, sama saja apakah kuburannya berada dibelakang orang yang shalat atau didepannya atau disebelah kanannya atau kirinya, berdasarkan hadits nabi r:
(( لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ )) متفق عليه.
“Allah melaknat orang Yahudi dan Nasrani, karena mereka menjadikan kuburan para Nabinya sebagai masjid " (Muttafaq alaih).
Juga berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوْا اْلقُبُوْرَ مَسَاجِدَ فَإِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ ))
“Ketahuilah bahwa orang-orang sebelum kamu telah menjadikan kuburan para nabinya dan orang-orang shaleh sebagai masjid, ketahuilah, janganlah kalian menjadikan masjid sebagai kuburan, sesungguhnya aku melarang yang demikian itu"(Riwayat Muslim dalam Ash-Shahih).
Dan karena shalat di masjid yang terdapat kuburannya akan menjadi sarana kesyirikan dan ghuluw (pemujaan yang berlebih-lebihan terhadap seseorang -pent) maka wajib mencegah hal seperti itu berdasarkan kedua hadits yang telah disebutkan dan riwayat yang lainnya yang senada serta sadduzzari’ah (menutup celah terjadinya kemunkaran/ syirik).
13. Banyak pekerja yang mengakhirkan shalat Zuhur dan Ashar hingga malam hari dengan alasan mereka sibuk dengan pekerjaannya atau baju mereka najis atau tidak bersih, bagaimana pendapat Syaikh?
Jawab: Tidak boleh bagi setiap muslim dan muslimah mengabaikan shalat fardhu dari waktunya, justru wajib bagi mereka melaksanakannya sesuai dengan waktunyaberdasarkan kemampuannya.
Dan pekerjaan bukanlah halangan untuk meninggalkan shalat, begitu juga baju yang najis atau kotor juga bukan halangan.
Waktu-waktu (pelaksanaan) shalat hendaklah disisihkan dari pekerjaan, bagi seorang pekerja pada waktu tersebut dapat mencuci bajunya yang kena najis atau menggantinya dengan baju yang suci. Adapun pakaian yang kotor tidak mengapa dipakai untuk shalat jika kotornya itu bukan terdiri dari najis atau terdapat bau yang tidak sedap sehingga mengganggu orang lain yang sedang shalat. Jika kotorannya itu mengganggu orang yang shalat baik karena dirinya atau karena baunya, maka wajib baginya untuk mencucinya sebelum shalat atau menggantinya dengan baju yang bersih sehingga dia dapat melakukan shalat berjamaah.
Boleh bagi orang yang berhalangan secara syar’i -seperti orang sakit atau musafir- untuk menggabung (jama’) shalat Zuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya disalah satu waktu keduanya. Sebagaimana terdapat riwayat yang shahih mengenai hal tersebut dari Rasulullah r, demikian juga boleh menjama’ pada saat hujan dan berlumpur yang memberatkan manusia.
14. Jika seseorang mendapatkan najis pada bajunya setelah mengucapkan salam dari shalatnya, apakah dia harus mengulanginya?
Jawab: Siapa yang shalat sementara di badannya atau bajunya terdapat najis sedangkan dia tidak mengetahuinya kecuali setelah shalat, maka shalatnya shahih menurut salah satu pendapat terkuat diantara dua pendapat para  ulama, begitu juga jika dia telah mengetahuinya terlebih dahulu kemudian lupa saat pelaksanaan shalat dan baru ingat setelah selesai melaksanakan shalat, maka shalatnya sah, berdasarkan firman Allah ta’ala:
         
 “Ya Tuhan kami janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah "   (Al-Baqarah: 286 ).
Begitu juga  terdapat riwayat yang shahih dari Rasulullah r, bahwa saat beliau shalat suatu hari terdapat pada terompahnya kotoran, kemudian malaikat Jibril memberitahunya akan hal tersebut, maka beliau melepas terompah tersebut lalu meneruskan shalatnya dan tidak mengulanginya dari awal. Dan hal ini termasuk kemudahan dan rahmat dari Allah ta’ala kepada hamba-Nya.
Adapun jika seseorang shalat sedangkan dia lupa bahwa dirinya memiliki hadats, maka dia harus mengulangi shalatnya berdasarkan kesepakatan para ulama. Sebagaimana hadits Rasulullah r :
(( لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طَهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ )) أخرجه مسلم في صحيحه.
“Tidak diterima shalat seseorang tanpa bersuci dan sedekah yang berasal dari barang (hasil)tipuan"(Riwayat Muslim dalam Shahihnya)
Begitu juga berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ )) متفق على صحته.
“Tidak diterima shalat salah seorang diantara kamu jika dia memiliki hadats sampai dia berwudhu” (Muttafaq alaih).
15. Banyak orang yang melalaikan shalat, bahkan sebagian dari mereka telah meninggalkan shalat secara total, apakah hukum terhadap mereka itu ? Dan apakah kewajiban seorang muslim terhadap mereka, terutama kerabat, seperti; orang tua, anak, istri, dan yang semisalnya ?
Jawab: Melalaikan shalat merupakan kemungkaran yang besar dan termasuk sifat orang-orang munafik, sebagaimana firman Allah ta’ala:
                     
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas, Mereka mermaksud riya (dengan shalat) dihadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah keculali sedikit sekali" (An-Nisaa': 142).
Allah juga berfirman tatkala menerangkan sifat-sifat mereka:
 $tBur óOßgyèuZtB br& Ÿ@t6ø)è? öNåk÷]ÏB óOßgçG»s)xÿtR HwÎ) óOßg¯Rr& (#rãxÿŸ2 «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßtÎ/ur Ÿwur tbqè?ù'tƒ no4qn=¢Á9$# žwÎ) öNèdur 4n<$|¡à2 Ÿwur tbqà)ÏÿZムžwÎ) öNèdur tbqèd̍»x.  
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakam sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan" (At-Taubah: 54).
Rasulullah r bersabda:
(( أَثْقَلُ الصَّلاَةَ عَلَى المُنَافِقِيْنَ صَلاَةُ العِشَاءِ وَصَلاَةُ الفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِيْهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْواً )) متفق على صحته.
“Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya dan shalat Fajar (Shubuh), dan seandainya mereka mengetahui apa yang terkandung didalamnya niscaya mereka akan mendatanginya (untuk melakukan kedua shalat tersebut) walaupun dalam keadaan merangkak" (Muttafaq alaih).
Maka merupakan kewajiban setiap muslim baik laki-laki ataupun perempuan untuk menjaga shalatnya yang lima waktu dan melakukannya dengan thumaninah (tenang), bersegera kepadanya dan khusyu' saat melaksanakannya. Allah I berfirman:
]  ôs% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ tûïÏ%©!$# öNèd Îû öNÍkÍEŸx|¹ tbqãèϱ»yz [
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman: (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya" (Al-Mu’minun: 1-2).
Begitu juga terdapat riwayat yang kuat dari Rasulullah r bahwa dia memerintahkan seseorang untuk mengulangi shalatnya, karena tidak thuma’ninah. Khusus bagi kaum laki-laki agar memelihara shalat berjamaah, bersama saudara-saudaranya di rumah-rumah Allah yaitu masjid, berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ )) أخرجه ابن ماجه و الدارقطنى وابن حبان والحاكم بإسناد صحيح.
"Siapa yang mendengar azan kemudian dia tidak datang (untuk shalat berjamaah) maka tidak ada shalat baginya kecuali jika ada halangan" (Riwayat Ibnu Majah, Daruquthni, Ibnu Hibban dan Hakim dengan sanad yang shahih).
Ibnu Abbas radiallahu'anhumaditanya tentang halangan apa yang dimaksud, dia menjawab:” takut dan sakit”.
Dan dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah t, dari Rasulullah r, bahwa datang kepadanya seorang laki-laki yang buta seraya berkata: “Wahai Rasulullah, tidak ada yang menuntunku ke masjid, apakah ada keringanan bagiku untuk shalat di rumahku? maka Rasulullah r memberinya keringanan, tapi kemudian beliau memanggilnya dan bertanya: “Apakah engkau mendengarkan seruan untuk shalat (azan)? dia menjawab, “Ya”, beliau bersabda:”Sambutlah (dengan pergi ke masjid untuk shalat berjamaah -pent).”
Dalam As-Shahihain dari Abu Hurairah t, dari Rasulullah r, beliau bersabda: “Aku sungguh sangat ingin sekali memerintahkan agar shalat dilaksanakan, kemudian ada seseorang yang menjadi imam, sementara aku bersama beberapa orang berangkat dengan membawa seikat kayu bakar dan mendatangi sekelompok kaum yang tidak menghadiri shalat (berjamaah) lalu aku membakar rumah-rumah mereka ".
Beberapa hadits yang shahih tersebut menunjukkan bahwa shalat berjamaah bagi kaum laki-laki merupakan kewajiban yang paling besar dan bagi yang meninggalkannya layak untuk mendapatkan hukuman yang berat. Semoga Allah selalu memperbaiki keadaan kaum muslimin seluruhnya dan memberi mereka taufiq atas segala apa yang diridhai-Nya.
Adapun meninggalkannya sama sekali atau sebagian waktunya saja, maka menurut pendapat yang terkuat diantara dua pendapat ulama, hal tersebut merupakan kekufuran yang besar baik pria maupun wanita, walaupun pelakunya tidak mengingkari kewajibannya, berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالشِّرْكِ تَرْكُ الصَّلاَةِ ))
“Antara seseorang dan kekufuran serta kemusyrikan adalah meninggalkan shalat”. (Riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya).
(( العَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ ))     
“Janji antara kita dengan mereka (orang kafir) adalah shalat, siapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir". (Riwayat Imam Ahmad dan Ahlussunan yang empat dengan sanad yang shahih) dan masih banyak lagi hadits yang semakna dengannya.
Adapun orang yang mengingkari kewajibannya baik laki-laki maupun wanita, maka sesungguhnya dia telah kafir dengan kekufuran yang besar berdasarkan kesepakatan para ulama, walaupun dia melakukan shalat. Semoga Allah melindungi kita dan semua kaum muslimin dari hal tersebut, sesungguhnya Dia adalah sebaik-baik pelindung.
Merupakan kewajiban kaum muslimin seluruhnya untuk saling menasihati dan memberi wasiat dalam kebenaran dan saling tolong- menolong dalam kebaikan dan takwa, diantaranya adalah menasihati orang yang tidak shalat berjamaah atau menyepelekannya bahkan sewaktu-waktu meninggalkannya. Mengingatkan mereka akan kemurkaan dan hukuman-Nya. Dan kewajiban kedua orang tua, saudara-saudara dan kaum kerabatnya untuk menasihatinya secara terus menerus sehingga dia mendapatkan hidayah dari Allah I dan istiqamah di jalan-Nya. Demikian juga halnya bagi wanita yang menyepelekan shalat atau meninggalkannya, wajib untuk dinasihati secara terus menerus dan mengingatkannya akan kemurkaan Allah I serta hukuman-Nya dan mengucilkannya jika dia tidak mengindahkannya padahal dia mampu melakukannya, dan menghukumnya dengan cara yang layak. Karena semua itu adalah termasuk tolong menolong dalam kebaikan dan takwa dan Amar ma’ruf nahi munkar yang Allah wajibkan bagi semua hamba-Nya, baik pria ataupun wanita, berdasarkan firman Allah I:
 tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 šcrâßDù'tƒ Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3ZßJø9$# šcqßJŠÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# šcqè?÷sãƒur no4qx.¨9$# šcqãèŠÏÜãƒur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNßgçHxq÷Žzy ª!$# 3 ¨bÎ) ©!$# îƒÍtã ÒOŠÅ3ym   
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberikan rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha Bijaksana. " (At-Taubah: 71).
Juga berdasrkan hadits Rasulullah r:
(( مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِيْ المَضَاجِعِ ))
“Perintahkanlah anak kalian untuk shalat saat berusia tujuh tahun dan pukullah mereka (jika tidak melakukan shalat) pada usia sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka."
Jika anak-anak pada usia tujuh tahun sudah diperintahkan shalat, dan boleh dipukul jika tidak melaksanakannya pada usia sepuluh tahun, maka orang yang sudah baligh lebih utama untuk diperintahkan shalat dan dipukul jika tidak melaksanakannya setelah dinasihati secara terus menerus.
Adapun saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, adalah berdasarkan firman Allah I:
 ÎŽóÇyèø9$#ur ÇÊÈ ¨bÎ) z`»|¡SM}$# Å"s9 AŽô£äz ÇËÈ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur ÎŽö9¢Á9$$Î/  
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan yang saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan saling nasihat menasihati dalam kesabaran. " ( Al-‘Ashr: 1-3).
Dan siapa yang meninggalkan shalat setelah masa baligh serta tidak menerima nasihat, maka perkaranya dibawa ke pengadilan syar’i, agar diperintahkan untuk bertaubat, jika tidak bertaubat maka dihukum mati. Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan memberikan kepada mereka pemahaman terhadap agamanya dan menuntun mereka untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa serta amar ma’ruf nahi munkar dan saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, sesungguhnya Dia Maha Pemberi lagi Mulia.
16. Seseorang mengalami kecelakaan kendaraan atau semisalnya sehingga ia mengalami pendarahan di otak atau tidak sadarkan diri dalam beberapa hari, apakah wajib bagi orang tersebut meng-qadha shalatnya jika telah sadar?
Jawab:   Jika masanya sebentar seperti tiga hari atau lebih wajib baginya meng-qadha shalatnya, karena pingsan dalam masa seperti itu menyerupai tidur yang tidak menggugurkan qadha, dan telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat -radiyallahuanhum- bahwa mereka mengalami pingsan kurang dari tiga hari, maka mereka mengqadha (shalatnya).
Adapun jika masanya melebihi tiga hari, maka tidak wajib baginya meng-qadha, berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ: عَن النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَالصَّغِيْرِ حَتَّى يَبْلُغَ وَالمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ ))
Al-Qalam di angkat atas tiga perkara: Dari orang yang tertidur hingga dia bangun, anak kecil hingga baligh, dan orang gila hingga sadar."
Adapun orang yang pingsan dalam waktu yang lama menyerupai orang gila dalam hal hilang akalnya. Wallahu waliyyuttaufiq.
17. Banyak orang yang sakit menganggap remeh terhadap shalatnya dan berkata: Jika aku sembuh aku akan mengqadha shalat, sementara sebagian lagi berkata: Bagaimana saya dapat shalat sedangkan saya tidak dapat bersuci dan membersihkan diri dari najis. Bagaimana sebaiknya kita mengarahkan mereka?
Jawab: Selama akal masih berfungsi, sakit bukan halangan bagi seseorang untuk meninggalkan  shalat hanya karena alasan tidak dapat bersuci. Maka tetap merupakan kewajiban bagi orang sakit untuk shalat sesuai dengan kemampuannya dan bersuci dengan air jika dia mampu untuk itu, jika dia tidak mampu menggunakan air maka hendaknya dia tayammum dan shalat. Dia juga harus menghilangkan najis yang terdapat di bajunya atau badannya dan mengganti baju yang terdapat najis dengan baju yang suci dari najis pada saat melaksanakan shalat, jika dia tidak mampu untuk membersihkan najis atau mengganti baju yang terkena najis dengan baju yang suci, maka gugur baginya semua kewajiban-kewajiban itu, maka dia dapat melakukan shalat sebagaimana adanya, berdasarkan firman Allah I:
      
“Bertakwalah kamu semampu kamu”(At-Taghabun: 15).
Dan berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَاتَّقُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ )) متفق عليه
“Jika aku memerintahkan sesuatu perkara, maka patuhilah semampu kalian” (Muttafaq Alaih).
Juga hadits Rasulullah r kepada ‘Imran bin Husain –radiyallahu'anhuma- tatkala dia mengadukan tentang penyakitnya:
(( صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ )) رواه البخاري في صحيحه ورواه النسائي بإسناد صحيح وزاد: (( فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَمُسْتَلْقِيًا ))
“Shalatlah kamu dengan berdiri, jika tidak mampu, maka duduklah, jika tidak mampu, maka hendaknya berbaring (dengan posisi miring bertumpu pada sisi tubuh sebelah kanan)." (Riwayat Bukhari dalam Shahihnya dan riwayat An-Nasai dengan sanad yang shahih dan dengan tambahan: Jika tidak mampu maka terlentanglah".

18. Orang yang meninggalkan shalatnya dengan sengaja, baik untuk satu waktu atau lebih, kemudian mendapatkan taufiq dari Allah dan bertaubat, apakah dia mengqada shalat yang ditinggalkannya tersebut?
Jawab: Dia tidak diharuskan mengqadha apa yang dia tinggalkan dengan sengaja menurut pendapat yang paling kuat diantara dua pendapat ulama, karena meninggalkannya dengan sengaja membuatnya keluar dari wilayah Islam dan menjadikannya kelompok orang-orang kafir. Dan orang kafir tidak diwajibkan meng-qadha shalat yang dia tinggalkan saat dia kufur, berdasarkan hadis Rasulullah r:
(( بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالشِّرْكِ تَرْكُ الصَّلاَةِ )) رواه مسلم في الصحيح عن جابر بن عبد الله t
“Antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat." (Riwayat Muslim dalam Shahihnya dari Jabir bin Abdullah t)
Dan juga berdasarkan hadits Rasulullah r:
 (( العَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ )) أخرجه الإمام أحمد وأهل السنن بإسناد صحيح عن بريدة بن الحصيب t.
“Janji antara kita dengan mereka adalah shalat, maka siapa yang meninggalkannya dia telah kafir” (Riwayat Imam Ahmad dan Ahlussunan dengan sanad yang shahih dari Buraidah bin Al-Hushaib t).
Begitu juga Rasulullah r tidak memerintahkan orang-orang kafir yang masuk Islam untuk mengqadha shalatnya yang mereka tinggalkan, begitu juga halnya dengan para sahabat radiallahuanhum, mereka tidak memerintahkan orang-orang murtad yang kembali masuk Islam untuk mengqadha shalatnya. Akan tetapi jika seseorang mengqadha shalat yang dia tinggalkan  dengan sengaja tetapi dia tidak mengingkari wajibnya shalat, maka tidaklah mengapa sebagai langkah kehati-hatian (ihtiyath) dan untuk keluar dari khilaf dengan mereka yang berkata: ” tidak kufur karena meninggalkan shalat dengan sengaja jika tidak mengingkari kewajibannya ” dan mereka adalah mayoritas para ulama. Wallahu waliyyuttaufiq.
    
    



AZAN

19. Sebagian orang ada yang berkata, "jika azan tidak dilaksanakan pada awal waktu, maka tidak perlu lagi azan, karena fungsi azan adalah untuk memberitahu akan masuknya waktu shalat, bagaimanakah pendapat tuan yang mulia dalam masalah ini, dan apakah azan  tetap disyariatkan bagi orang yang sendirian ditengah padang pasir?
Jawab: Jika azan tidak dilakukan pada awal waktu, maka tidak disyariatkan untuk azan lagi sesudahnya jika di daerah tersebut ada mu’azzin lainnya yang telah melakukannya, adapun jika terlambatnya sebentar saja, maka tidak mengapa untuk melakukan azan.
Adapun jika dalam suatu daerah tidak ada mu’azzin selainnya, maka dia harus melakukan azan meskipun sudah terlambat beberapa saat. Karena hukum azan adalah fardhu kifayah, sementara tidak ada selainnya yang melakukannya, maka wajib baginya untuk melakukannya dan dia bertanggung jawab untuk itu, karena orang-orang kebanyakan menantinya.
Sedangkan bagi orang yang bepergian, maka disyariatkan baginya azan meskipun cuma sendirian. Sebagaimana terdapat dalam hadits shahih dari Abu Sa’id t, saat dia berkata kepada seseorang: “Jika engkau berada saat mengembala kambing atau di tempat sepi, maka angkatlah suara kalian untuk melakukan azan, karena siapa saja yang mendengar suara mu’azzin baik jin maupun manusia atau apa saja, mereka akan menjadi saksi baginya pada hari qiamat”. Ucapan tersebut maushul kepada Rasulullah r. Begitu juga halnya dengan hadits-hadits yang lainnya yang secara umum berbicara tentang disyari’atkannya azan dan keutamaan-keutamaannya.
20. Apakah wajib bagi wanita untuk melakukan azan dan iqomat, baik dalam keadaan tidak bepergian seorang diri atau di tanah lapang atau bersama-sama?
Jawab: Tidak disyari’atkan bagi wanita untuk melakukan azan dan iqamat, baik dalam keadaan menetap atau bepergian, sesungguhnya azan dan iqamat hanyalah untuk kaum laki-laki. Hal tersebut telah dinyatakan dalam beberapa hadits shahih dari Rasulullah r.
21. Jika seseorang lupa untuk melakukan iqamat dan kemudian melakukan shalat, apakah hal tersebut akan berpengaruh pada hukum shalatnya, baik dia dalam keadaan sendiri atau bersama jamaah?
Jawab: Jika seseorang shalat sendirian atau berjamaah tanpa melakukan iqamat (sebelumnya), maka shalatnya tetap sah, dan bagi mereka yang melakukan hal tersebut hendaknya bertaubat kepada Allah I.
Begitu juga halnya jika mereka shalat tanpa melakukan azan, maka shalatnya sah, karena azan dan iqamat termasuk fardhu kifayah dan keduanya diluar syarat sah shalat.
Dan bagi siapa yang meninggalkan azan dan iqamat hendaknya bertaubat kepada Allah I atas perbuatannya itu, karena fardhu kifayah jika semua orang meninggalkannya maka seluruhnya akan berdosa, akan tetapi jika sebagian melaksanakannya maka gugurlah kewajiban dan dosa bagi yang lainnya, baik dalam keadaan menetap atau sedang bepergian, baik di desa atau kota atau  pedalaman. Semoga Allah memberi taufiq kepada seluruh kaum muslimin atas apa saja yang diridhai-Nya.
22. Apa dalilnya ucapan azan  dalam  shalat     fajar:
الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِن النَّوْمِ
dan apakah pendapat tuan syaikh terhadap mereka yang mengucapkan:
حَيَّ عَلَى خَيْرِ العَمَل  
 apakah ada dalilnya?
Jawab:  Terdapat riwayat yang kuat dari Rasulullah r, bahwa beliau memerintahkan Bilal dan Abu Mahzurah tentang hal tersebut (yaitu ucapan  الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِن النَّوْمِ dalam shalat shubuh), sebagaimana terdapat dalam riwayat Anas t, bahwa beliau berkata: “Merupakan sunnah dalam azan shalat fajar, seorang mu’azin mengucapkan  الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِن النَّوْمِ  “. Kalimat ini diucapkan dalam azan yang dikumandangkan saat terbitnya fajar menurut pendapat yang paling shahih diantara dua pendapat para ulama dan dinamakan azan pertama jika dikaitkan dengan iqamat, karena iqamat disebut juga azan kedua, sebagaimana hadits Rasulullah r,  بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ الصَّلاَةُ(Diantara dua azan terdapat shalat), dan terdapat riwayat yang shahih diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah radiallahuanha yang menunjukkan hal tersebut.
Adapun ucapan sebagian kalangan Syi’ah dalam  azan:
 حَيَّ عَلَى خَيْرِ العَمَل , itu adalah bid’ah dan tidak terdapat dalilnya dalam hadits-hadits yang shahih, semoga Allah memberikan petunjuk kepada mereka dan kepada seluruh kaum muslimin untuk mengikuti sunnahnya dan menggenggamnya erat-erat, karena itu merupakan jalan keselamatan dan kebahagiaan bagi seluruh ummat.
23. Terdapat riwayat bahwa Rasulullah r, mengumandangkan dalam shalat Kusuf (shalat    gerhana)
 " الصَّلاَةُ جَامِعَةٌ ", apakah hal tersebut diucapkan sekali saja atau disyari’atkan berulang-ulang, berapakah batasan untuk mengulanginya?

Jawab: Terdapat riwayat dari Rasulullah r, bahwa beliau memerintahkan untuk mengumandangkan dalam shalat Kusuf ucapan  " الصَّلاَةُ جَامِعَةٌ ", Disunnahkan bagi yang mengumandangkannya untuk mengulang-ulangnya sampai dia meyakini bahwa orang-orang telah mendengarnya, dan tidak terdapat batasan jumlahnya sebagaimana yang kami ketahui. Semoga Allah memberikan taufiq-Nya.

Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

 

Copyright © 2014. "MASTER MUNYIL". Designed by: BigsMaster